Banyak orang terbebani dengan hutang, terutama beban saat membayarnya. Saking jadi beban, sampai tak ingin menyebutnya dengan hutang, menggunakan kata lain yang lebih halus sebab menyebut kata aslinya membuat perasaan negatif.
Read more
Padahal hutang hakikatnya adalah "pertolongan". Sebab saat seseorang meminjamkan uang, hakikatnya ia telah menerima kebaikan dari orang tersebut.
Tapi, orang mudah melupakan bahwa ia telah ditolong, lebih mempersepsikan bahwa ia telah "dijebak" bahkan lebih buruk "terperangkap". Eh mirip ya?
Saya ingin mengajak Anda untuk melihat hutang dari persepsi yang baik, yaitu pertolongan dan kebaikan. Bukan dari persepsi yang buruk, berupa jebakan atau perangkap.
Jadi saat seseorang berhutang dan bertekad melunasi, bayangkanlah nikmat yang pernah dirasakan berupa pertolongan dalam kondisi darurat.
Sekarang saatnya mengembalikan kebaikan tersebut, "Ya Tuhan, terimakasih atas kemampuan hamba untuk mengembalikan kebaikan si Anu sebesar Rp sekian juta."
Jadi hutang disebut sebagai kebaikan (yang pernah diterima). Ini lebih menyenangkan dan menenangkan dari pada menyebutnya amanah dengan tetap ada penolakan dari pikiran bawah sadar.
Kenapa penolakan?
Sebab pikiran bawah sadar juga tahu yang namanya kewajiban tidak selamanya menyenangkan, sama seperti kewajiban jabatan ketua RT. Banyak pengorbanan dari pada keuntungan.
Tapi kata "kebaikan" diterima pikiran sebab memang substansi dari hutang adalah untuk kebaikan, menyelamatkan.
Bagaimana melakukan afirmasi agar hutang terlunasi? Syukuri dulu nilai uang yang pernah diterima sebagai salah satu rejeki dari Tuhan.
Lalu sugestikan diri sendiri sebagai "orang baik dan beruntung" sebab memang hanya orang baik dan beruntung yang menerima hutang.
Kemudian tekadkan untuk membalas kebaikan orang lain/pihak lain, jadi mohonlah kemampuan (bukan kekuatan) kepadaNYA.
Kenapa bukan "kekuatan"? Sebab pikiran pun tahu bahwa seseorang menjadi kuat bila "melewati proses latihan mendapatkan beban".
Jadi meminta kekuatan sama saja dengan meminta beban lebih sehingga lama-lama menjadi kuat.
Lebih baik ambil kata "mampu" alias fokus pada kapasitas diri tanpa mempersepsikan hal negatif seperti beban.
Ingat, hutang hakikatnya adalah rejeki. Jadi bersyukurlah, bukan meratapi. Sekarang bersyukurlah karena dengan bersyukur rejeki yang lain akan mengikuti
Prokopton,