DUA POLA

Pola pikir. Pikiran punya pola. Dan pola itu menentukan pemaknaan kita terhadap situasi hidup, bahkan juga memandu respons kita terhadap segala peristiwa yang hadir dalam kehidupan kita. 

Read more

So..

Sebagian orang menjadi optimis, sebagian lagi pesimis. 

Sebagian menikmati sukses, sebagian lagi terus berkutat dengan kiat-kiat meraih kesuksesan. 

Sebagian menjadi lntelektual. sebagian lagi miskin pengetahuan. 

Sebaglan menjadi orang paling kaya, sebagian lagi sibuk dengan upah minimum regional. 

Sebagian berbadan subur, sebagian lagi kurus kering. 

Sebagian merasa rendah diri, sebaglan lagi nampak sangat percaya diri. 

Sebagian pandai berkomunikasi, sebagian lagi gagap mengelola informasi. 

Sebagian menjadi pengusaha, sebagian lagi menjadi pegawal. 

Mengapa ada perbedaan sepertl itu..? 

Salah satu jawabannya adalah karena ada perbedaan pola pikir. Ada variasi pola pikir dalam masyarakat. Setiap pola plkir menggerakkan perilaku tertentu. Dan setiap perilaku punya konsekuensi tertentu. Di sini kita di ingatkan, setiap orang bebas memikirkan hal yang mau dia pikirkannya. 

Namun, dia terikat pada konsekuensi dari pikiran tersebut. Setiap orang bebas memilih perilaku atau tindakan yang akan diambilnya dalam kehidupan sehari-harl. 

Namun, la terikat pada konsekuensi dari perilaku yang telah dia pilih secara bebas itu. Jadi, kita bebas memilih sekaligus terikat oleh konsekuensinya. Luar biasa. 

Sekarang, mari kita bertanya, dari sendiri. Mana pola pikir itu kita peroleh..? 

Apakah pola pikir sudah ada begitu saja ketika kita dilahirkan..? 

Apakah pola pikir merupakan sesuatu yang diwariskan oleh orang tua kita..? 

Atau kita sendirikah yang membentuknya..? 

Bagaimana pengaruh lingkungan di sekitar kita..? 

Mungkinkah seseorang memiliki pola pikir yang berbeda dengan pola pikir dominan yang ada di lingkungan di mana ia dibesarkan..? 

Mungkinkah sebuah negeri yang penuh dengan koruptor melahirkan orang-orang yang antikorupsi..? 

Mungkinkah sebuah kaum yang didominasi oleh orang-orang tercela melahirkan orang-orang suci..? 

Bisakah di kalangan bandit muncul ulama, pendeta atau spiritual..? 

Dan bisakah dari kalangan spiritual atau rohaniwan, muncul penjahat tak bermoral..? 

Dapatkah anak pengusaha menjadi pegawai, dan anak pegawai menjadi pengusaha..? 

Bagaimana bisa? 

Mengapa tidak bisa..? 

Sejumlah ahli mengatakan bahwa pola pikir terbentuk lewat proses pengasuhan. Sampai usia tiga tahun, seorang anak boleh di katakan menelan semua perlakuan yang diterimanya, dan menyimpannya dalam memori otak. 

Lalu, pada lima tahun berikutnya, ia juga masih lahap menelan sebagian besar (tldak semua) hal yang masuk melalul pancainderanya. Dan sampai usia sekitar 13 tahun, barulah terbentuk semacam filter dalam pikirannya. Dengan filter itu, ia menyaring segala peristiwa yang masuk ke dalam pikirannya. 

la juga memberi makna pada setiap peristiwa yang dialami oleh inderanya (visual, auditori, kinestetik, gustatoriolfactorf). la mulai bisa berpikir untuk memilih dan memilah secara sadar. Dengan kata lain, pola pikir dibentuk lewat proses pembelajaran. 

Masalahnya, pola pikir ini kemudian menghadapkan setiap orang pada pilihan untuk mempercayai apakah kemampuannya bersifat tetap dan permanen (setelah usia tertentu) atau selalu tumbuh dan berkembang (sampai usia berapa pun). 

Jika pola pikir bersifat tetap, yang diperlukan hanyalah pembuktian diri. Namun, jika pola pikir itu bisa terus dikembangkan melalui proses pembelajaran, tidaklah terbatas kemampuan (atau kecerdasan) seorang anak sepanjang masih terus belajar mengembangkan dlrinya. 

Konsekuensi dari pola pikir tetap versus pola pikir berkembang mengingatkan kita pada perseteruan pandangan mengenai apakah kecerdasan bersifat tetap atau berkembang melalui pengalaman dan perlakuan. 

Apakah kecerdasan bersifat genetis atau karena pengkondisian lingkungan..? 

Orang cerdas itu karena bawaan (nature) atau hasll binaan (nurture)? 

Orang cerdas itu karena bakatnya atau karena usahanya yang terus menerus..? 

Kita bersyukur bahwa dewasa ini perseteruan itu sudah dapat kita sikapi secara leblh baik. 


Misalnya, kita dapat mengutip pernyataan ahli saraf terkemuka Gilbert Gottlieb bahwa sebenarnya gen atau bakat dan lingkungan tidak saja bekerja sama seiring dengan perkembangan kita. Lebih dari itu, gen atau bakat Juga membutuhkan masukan dari lingkungan agar dapat bekerja secara tepat. Kita juga dapat mengingat kembali pernyataan Alfred Binet sang pencipta tes IQ yang terkenal itu bahwa orang yang pada awalnya paling cerdas tidak selalu menjadi yang paling cerdas pada akhirnya. 

Dengan praktik, pelatihan, dan yang terpenting, metode yang tepat, kita dapat meningkatkan perhatian, memori kita, penilaian kita, dan, tentu saja, menjadl lebih cerdas darl sebelumnya; kata Binet dalam Modern Ideas about Children. 

Di samping Gottlieb dan Binet, nama Robert Sternberg juga perlu disebut. Guru kecerdasan mutakhir yang satu ini pernah menulis bahwa faktor terpenting yang menentukan seseorang mencapai keahllan dan kompetensi tertentu "bukanlah kemampuan yang sudah melekat sebelumnya, tetapi pergulatan dengan maksud yang jelas." 

Maksud yang jelas, visi dan pandangan jangka panjang yang kuat, motivasi yang kokoh, persistensi dan determinasi bulat, dalam banyak kasus memang mengubah manusia dari kondisi "tidak bisa" menjadl "bisa"; dari "tidak mampu" menjadi mampu"; dari "biasa• menjadl "luar biasa.

Melalui paparan sederhana di atas, saya mencoba mengingatkan anda bahwa ada dua pllihan fundamental dalam soal pola pikir: tetap (fixed) atau berkembang (growth). Dan pola pikir mana yang Anda terima (adopsi) untuk diri Anda sangatlah mempengaruhi cara Anda mengarahkan kehidupan. Anda bebas memilih, tetapi Anda terikat oleh konsekuensi dari pilihan tersebut. 


Semoga bermanfaat,

Prokopton !