Belum lama ini seorang kawan tiba-tiba mengirimkan pandek (pesan pendek alias SMS) berikut:
Read more
"Aku kemarin ulang tahun, tapi sudah dua hari ini aku tak berhenti menangis. Aku kecewa berat karena selama belasan tahun menikah, suamiku tidak pernah memberiku hadiah apa pun.
Sehari sebelum ultah, la ke mall, dan diam-diam aku berharap ia membelikan apalah sebagal kado.
Pagi hari ia tak memberikan apa-apa. Sore sepulang dari kantor, aku melihat ia membawa tas plastik, dan aku berharap la membelikanku sesuatu. Ternyata, isinya hanya ah...
Aku sedih sekali. Aku punya penghasilan puluhan juta tiap bulan, dan aku memiliki harta benda yang cukup melimpah. Tapi bertahun-tahun aku menanti-nanti kalau-kalau suatu sore suamiku memberiku uang, meski hanya satu juta rupiah. Aku akan sangat berterima kasih. Tapi itu masih harapan semata. Aku berharap, setelah bisa cerita pada seseorang seperti ini, aku bisa berhenti menangis.
Sorry, merepotkan kamu, ya.
Dalam kesempatan berikutnya, la menjelaskan,
"Aku memang dibesarkan dalam keluarga yang hangat. Minimal selalu ada kado di waktu hari raya, ulang tahun, dan naik kelas. Setelah menikah, dari suamiku, aku belum pernah menerima kado. Dan sewaktu hal ini kubicarakan, dia selalu bilang bahwa la tak punya budaya merayakan ulang tahun di keluarganya. Bahkan dia juga bilang, apakah nilai diriku seharga barang yang dikadokan itu?
Aku balik tanya, apa artinya cinta tanpa pernah memberikan apa-apa..?
la cuma diam. Yang tidak masuk akal, aku terus saja menunggu suatu saat suamiku memberikan sesuatu untukku, meski nilainya kecil. Dan aku sendiri Ingin menjadl kado bagi suamiku. Aku ingin mendengar la mengucapkan terimakasih karena aku sudah menjadi tulang punggung keluarga. Aku sudah menanggung semuanya, tetapi aku merasa tidak mendapatkan penghargaan.
Sementara itu, suamiku sering merasa terganggu dan terusik dengan hal-hal yang kuharapkan. Jadi, aku berserah pada Tuhan sajalah."
Sebagai sebuah pandek, pesan yang bermunculan di layar ponsel saya ltu Jelas sudah tidak pendek lagi. Namun, bukan hanya pesannya yang tidak pendek. Isi pesan ltu juga mencoba meringkas kisah yang sesungguhnya cukup panjang yang terjalin dalam hitungan tahunan dan mungkin juga puluhan tahun, tergantung pada seberapa jauh kita ingin mempelajarinya.
la bertutur tentang perbedaan pola asuh yang dialami dua anak manusia dalam dua keluarga yang berbeda. Kedua anak manusia ini juga mengarungi kehidupan yang berbeda selama sekian puluh tahun, sampai kemudian dipersatukan dalam pernikahan.
Perbedaan pola asuh, pengalaman, dan proses pembelajaran mereka kemudian menimbulkan masalah dalam kehidupan keluarga karena masing-masing telah memlliki pola pikir. Perbedaan pola pikir ini dapat di ibaratkan seperti perbedaan bahasa ibu.
Yang satu dibesarkan dengan menggunakan bahasa Inggris, sementara yang satunya lagi hanya mengerti bahasa Indonesia. Dengan demikian, bisa muncul masalah serius dalam setiap proses komunikasi di antara keduanya. lnilah konsekuensl dari perbedaan besar dalam soal pola pikir.
Pola pikir ini kemudian menentukan apa yang olell Gary Chapman disebut bahasa kasih (love language), yakni cara seseorang mengungkapkan cinta kasihnya. Persis sepertl perbedaan bahasa pada umumnya.
Misalnya bahasa Indonesia berbeda dengan bahasa lnggris, bahasa India, bahasa Italia, atau bahasa Arab. Orang dengan bahasa kasih yang berbeda akan mengalami kesulitan besar untuk saling memahami. Ada keharusan belajar secara disiplin agar pihak yang satu mampu memahami bahasa kasih pihak yang lain, dan sebaliknya.
Kegagalan dalam soal yang satu ini dapat berakibat hancurnya mahligai rumah tangga yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Sebaliknya, keberhasilan dalam soal ini dapat memulihkan hubungan keluarga secara ajaib dan melampaui akal sehat.
Menurut Chapman, di dunia ini ada lima bahasa kasih.
- Kata-kata pendukung (words of encouragement),
- Hadiah (receiving gifts),
- Sentuhan fisik (physical touch),
- Laku melayani (acts of service),
- Waktu berkualitas (quality time).
Masing-masing bahasa kasih itu berbeda, dan perbedaan ini merupakan salah satu wujud konkret dari perbedaan pola pikir.
Dalam kasus kawan saya itu, bahasa kasihnya adalah hadiah. la memahami bahwa cinta-kasih itu identik dengan pemberian hadiah. la tidak mampu memahami ungkapan cinta dalam bentuk lain, seperti sentuhan fisik atau laku melayani. Baginya nilai sebuah hadiah bukan terletak pada hadiah itu sendiri. Hadiah itu merupakan pertanda adanya cinta-kasih yang sesungguhnya.
la mungkin akan sangat senang mengutip ungkapan bijak ini:
"Orang bisa memberi (hadiah) tanpa cinta, tetapi orang tidak mungkin mencintai tanpa pernah memberi (hadiah)."
la memiliki argumentasi yang sempurna untuk mendukung bahasa kasihnya yang utama. ltulah bahasa ibunya, bahasa yang mendominasi hidupnya. Sementara itu, amat boleh
Jadi, meski saya tidak tahu pasti, pasangan hidupnya memiliki bahasa kasih yang berbeda. Bayangkan saja bahwa pasangannya memillki bahasa kasih laku melayani. Maka, yang ia harapkan bukanlah istri yang superhero, melainkan istrl yang ada di rumah dan siap melayani kebutuhan suami saat pulang ke rumah.
Yang la dambakan adalah istri yang memasak untuknya, menyiapkan pakaian kerja, dan melakukan hal-hal remeh temeh lainnya. Yang la pahami, seorang lstri seharusnya demikian. ltulah bahasa kasih yang dipahaminya. Dan ini sama sekali bukan soal feodal atau salah-benar. lni soal pola pikir dalam konteks cinta-kasih.
Bukankah ia sendlri juga frustasi dengan tuntutan istrinya yang "aneh-aneh" itu?
Jadi, bagaimana solusinya?
Saya tidak berkapasitas untuk memberikan jawaban sebagai konselor perkawinan. Saya memberikan respons dalam kapasitas sebagal seorang kawan yang berempati. Karena ltu, saya menyarankannya untuk mengambil waktu mempelajari bahasa kasih dirinya dan bahasa kasih suaminya.
Buku Gary Chapman untuk mereka berdua.
Kalau dibaca bersama-sama, saya berharap buku ltu bisa sedikit membantu memperbaiki hubungan cinta mereka.
Pola pikir.
Plkiran punya pola.
Dan pola itu ternyata amat di pengaruhl oleh pola asuh tiap anak manusia.
Pola itu terkait dengan proses pemrograman (baca: pengajaran, pelatihan, pendidikan, contoh) yang dilakukan oleh orangtua, pengajar sekolah, pengajar agama, dan lingkungan di masa kanak-kanak.
Lalu, program awal itu menjadi pengalaman, menjadi referensi utama, menjadi semacam database dalam memori seseorang, menjadi rujukan ketika ia kelak menghadapi persoalan kehidupan di usia remaja dan dewasa.
Dan karena setiap anak manusia memiliki potensi unik dan pengalaman hidup yang berbeda-beda, terciptalah perbedaan pola pikir.
Sungguh luar biasa!